Negeri Berhidung Panjang
Inilah negeri kita. Hidungnya melebihi panjangsejarah neneknya. Katanya, ia banyak mene-
mukan aroma bencana dari riwayat manusia
yang bersalah-sangka. Kau tahu, dari
hidungnya telah banyak dirazia suara yang
bersembunyi seakan-akan doa. Mereka mene-
mukan serigalanya dari setiap bencana-ben-
cana yang dihalau dengan ritual-ritualnya.
Hingga akhirnya semua muram dengan segala
tindakan yang dipasrahkan di telinga. Lalu
semua orang pura-pura bertamasya, menyak-
sikan kematian yang dikunjunginya dari makam-
makam para pendoa.
Saranglilin, Maret 2015
Ada yang Begitu Pasrah
Ada yang begitu pasrah di hadapanmu. Iarumah yang dulunya tak berpintu. Tempat yang
sempat memeliharamu menjadi batu. Ia rumah
yang dulunya paling merindukanmu. Kesetiaan
yang selalu tumbuh saat doa begitu acuh men-
gulurkan tangannya kepadamu. Kini, rumah
telah terlanjur berpintu. Kau menjadi tak cukup
usia untuk bertemu.
Saranglilin, Maret 2015
Surat untuk Paman
:almarhum
Paman, ternyata sudah cukup lama dunia kitaterbelah. Warna langit dan tetesan air mata kita
pasti telah berbeda pula. Maukah kau menceri-
takan semua itu untukku, Paman? Dan
barangkali, di sana waktu telah benar-benar
lenyap di rumahmu. Jarak dan ingatan tentang
takdir telah lenyap menjadi batu. Dan kau,
Paman, telah lahir kembali sebagai wujud
kebaikan-kebaikanmu saat itu. Ingat, Paman,
duniamu saat ini pasti sangat luas, bukan?
Seperti apa? Sudahkah bertemu dengan orang-
tuamu, Paman? Ya, mereka kakek dan
nenekku. Yang pastinya akan membaurkan
mimpi-mimpimu di sana. Paman, jaga diri baik-
baik di sana, ya. Semoga di sana kau menemu-
kan surga yang dipenuhi orang-orang yang lahir
dari bijaksana. Orang-orang yang tak pernah
kelelahan membantumu mengacungkan jari
untuk presentasi kebaikan-kebaikanmu.
Saranglilin, Maret 2015
Lima Setengah Tahun
Hari ini, tepat lima setengah tahun, aku menge-nalmu. Aku ingat, kala itu, kau mengenalku dari
puisi. Bahkan, kau lebih dulu menemui puisiku
daripada aku.
Barangkali, ini kuungkap kembali supaya kau
tahu, bahwa kita telah sama-sama dilahirkan
dari payung rindu. Tubuh kita ditakdirkan seba-
gai dingin yang kekal. Di antara curah hujan
yang tak lagi peduli terhadap laut.
Dan hanya kau, yang memejamkan mata di
balik dada ini. Kau membuatku berlinang ketika
orang-orang masih selalu mencoba memben-
ciku dengan sepenuh pengekalan yang sengaja
ditaburkan.
Katamu, panjang usia kita ini seperti kredit
mobil. Dan aku hanya tersenyum, menapaki
lesung pipimu yang selalu saja menjauhkanku
dari keraguan dan putus asa.
Saranglilin, Maret 2015
— Setia Naka Andrian lahir di Kendal, 4 Februari 1989, pegiat Komunitas Lembah Kelelawar, Rumah Diksi, Jarak Dekat, Teater Gema dan Teater Nawiji, dan pengajar di Universitas Semarang
(USM), SMK Yayasan Pharmasi Semarang, dan Lembaga PersPelajar Oasis SMA 2 Kendal.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Setia Naka Andrian
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Suara Merdeka" pada 8 Maret 2015