Odi Ergo Sum
Sebuah benteng yang kokoh ditegakan
memagari rumah milik seorang pengecut
di pusat kota. sebuah menara pengawas yang tinggi
dan seorang pemanah selalu berjaga di sana
dengan kamera pengawas yang menyala
24 jam sambil merawat kebencian.
Si pengecut itu berwajah bersih dan menawan
lebih mirip seorang wali atau padri
tapi orang-orang menyebutnya pangeran
yang bertahta di dunia gelap birokrasi
dengan mahkota yang dirancang dari kesalahan
hitung-hitungan anggaran.
“Dilarang masuk!“ kalimat itu ditempel
dekat gerbang yang dijaga puluhan keledai sinting
bersuara buruk. ada juga seseorang
yang gemar merawat kulit tebal di wajanya
sambil menjulur-julurkan lidahnya
yang bercabang.
Tapi si pengecut itu jarang terlihat, sibuk
membaui aroma rasa takut dan kebencian
yang menguap dari siapa saja. ia sering
tergesa-gesa membuat keputusan
dengan suaran berletusan seperti cambuk
dilecutkan. membuat keledai-keledai sinting
meringkik dan mulai menggigit apa saja.
desis ular menjadi satu-satunya suara
yang terdengar di seluruh sudut kota.
Bandar Lampung, iii-2016
Kisah Azzali
Hari itu dia tegaskan sikapnya
dan dia memilih tak ikut menunduk
seperti kaumnya.
“Bagaimana mungkin cahaya yang cerlang
tunduk takzim pada tanah yang keruh,
tanah yang bau,“ katanya.
Kaumnya tak percaya atas pemberontak itu
tapi dia lebih tak percaya lagi
melihat sayap-sayapnya hilang kepakan
dengan bulu-bulu berlepasan.
Sejak itu lepas juga semua ikatan
dengan kaumnya
Lalu sesuatu menyala di tubuhnya
dengan nyala itu dia ingin membakarmu
selalu ingin terbakar bersamamu.
Bandar Lampung, iii-2016
Kalijodo
: krishna murti
Tak seorang pun mau ke sini
selain mereka yang jadi bagian dari kematian.
maut yang membangun kerajaan kegelapan
pada gelas-gelas minuman, mesin judi,
hentakan house musik, dan tarian-tarian liar
perempuan. maut yang bertahta
di dalam pikiranmu dengan pengawal
yang mampu mencium rasa ketakutan
di darahmu.
Sekali kau menemuinya, sambutannya
begitu ramah dan melenakan. seperti kawan lama
setiap saat diajaknya kau tertawa, bergembira,
hingga kau lupa pada banyak kisah
yang mesti kau selesaikan membacanya
Jangan sekali-sekali menjadikannya
saudara, teman, kekasih, apalagi musuh.
kau tak mungkin mendatanginya
dan mengajak berduel. maut itu
tak akan bisa ditaklukkan meski kau punya
jurus pamungkas: pukulan angin berpusing
dan menusuk tajam, yang pernah menalukkan
penghuni lembah kegelapan.
Maut ini punya ilmu kanuragan tanpa tanding.
berulang-ulang ditebas mata pedang keadilan
tapi tubuhnya kembali utuh dan kembali
menebarkan kematian di sekujur tubuhmu,
di urat nasib orang-orang. kerajaannya
semakin gelap dengan tahta yang lebih kokoh
dan pengikut yang lebih sinting.
Jakarta, ii-2016
Budi Hatees, lahir di Sipirok, 3 Juni 1972. Menulis sajak, Serba Sedikit sejak tahun 1980-an. Kitab sajaknya diterbitkan pada 1996, Narasi Sunyi, dan muncul di sejumlah antologi puisi bersama para penyair lain.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Budi Hatees
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Media Indonesia" edisi Minggu, 27 Maret 2016
Post a Comment