Menatap Indonesia
kedipan matamu busukserupa mimpi buruk
yang membusuk
di tidurku kaumasuk.
matamu adalah kompas rusak
yang mengarak-arak
para warga kami agar ‘tak suci.
di mimpi ini begitu pengap,
penuh oleh matamu
yang memata-matai.
mimpi ini laksana negeri kami
yang penuh orang tak tahu diri
tak sudi-suci.
negeri ini berisi tatapan peristiwa
kedipan sketsa.
negeri kami
meski, tetiduran
mata kami tetap
saling bertatapan.
Gubuk Sastra | 2015
Anak Pertiwi
aku adalah anak pertiwiyang lahir dari rahim bumi
kulitku penuh dengan darah
tubuhku terisi oleh lelah
kutengadah.
tubuhku yang tangkai
tersadai jalur duka lara
biarlah mematah jantung jiwa.
ibu pertiwiku,
percayalah,
dari rahim paling indonesia
aku doa ‘kan abadi selamanya.
sehingga, dalam sakit paling sengit
kukibarkan bendera merah putih
di sukma.
dan bila aku mati
aku pasti kembali
ke rahim bumi,
di perutmu ibuku
pertiwi.
Gubuk Sastra | 2015
Pertiwi Tunjuki Tanah Air Matamu
pertiwi, biarkan aku bertanyadi mana tanah airku?
aku memang harus pulang
setiap orang yang bertualang
pasti ingin pulang,
dan berceruk di pohon rindang.
seperti kita dulu
berselonjor di taman dan aku pun menatap matamu.
aku memang tak membuang ingatan
sebab, telah aku kubur kenangan
di lubuk matamu.
pertiwi, tunjukkan aku jalan menuju
tanah airku
mungkin ini akan menjadi mudik terakhir.
tapi, biarkan tak ada macet
agar aku bisa lagi menatap matamu.
adalah air matamu
dan mata air anak-anak kita.
pertiwi tunjukkanlah tanah airku
meski tanah airku
terdapat di matamu.
Gubuk Sastra | 2015
Angan Nelayan
mari kita menari di lautandi palung paling daratan
sambil bersenandung menyayapkan
doa-doa nelayan berharap umpan
bercinta dengan ikan.
semoga, doa ini tak hanyut
tersadai di laut-laut
yang memberi hidup kita garam.
kami telah geram...asam...geram!
haiii!
pertiwi nadi kami
telah kami kecup di
matamu yang kian basi,
dibanjiri pukat yang memerahkan matamu
ditumpuki bom yang mendarahkan korneamu,
hingga matamu merah, berdarah.
kami teruslah bersampan
dan bermain bersama badai dan topan
yang mencium keningku
dengan kecupan paling ibu.
pertiwi di tanah air, air mata, mata airmu.
telahku semanyam mimpi di muara paling ujung
biarkanlah ia menjelajah
di lautmu yang merah
yang darah
di matamu terbasah
tangisan kami yang tumpah.
kami adalah nelayan
yang menccrai ikan
dengan harapan seribu umpan.
meskipun telah lelah
dan angan kian pongah
setidaknya, telah kami jamah
matamu yang kian biru merekah.
Pertiwi | 2015
Balada Orang Pinggiran
di pinggiran jalan yang macetpara pengemis berbaris
wanita-wanita setan
memberhentikan mobil sedan.
jalan ini begitu ramai
di penuhi asap kendaraan
wanita-wanita setan
memberhentikan mobil sedan
mobil yang dilunasi
dengan hasil korupsi.
di jalan yang terlaknat ini
kutanam ludah
di belokan lampu merah
anak-anak pengemis
meringis
menahan tangis.
sebab, uang merak habis
di makan koruptor
yang membayarkannya
pada mobil sedan
untuk menjemput
wanita-wanita setan.
Gubuk Sastra |2015
Kunjungi Indonesia
kapan ‘kan kau bermain ke indonesiadengan kehangatan cahaya semesta
di tinggi etalase megah berjendela.
engkau memang tamu yang lembut
bersama matamu yang jingga seraut senja
aromamu yang seharum bunga desa.
taukahkau bahwa kami adalah pertiwi
langit kami adalah cakrawala
dan cinta kami adalah ‘kau.
hei kau!
mari ke indonesia.
kami tahu bahwa kau adalah
ibu yang menyusui kami
ibu yang membumikan tanah kami
dan kau adalah pertiwi.
maka kunjungi kami lagi!
Sastra Minggu | 2015
Muhammad De Putra, lahir 14 April 2001. Bukunya yang telah terbit Kepompong dalam Botol & Timang Gadis Perindu Ayah Penanya Bulan, Sedang meramu buku puisi tunggalnya yang ke 3 Hikayat Anak-anak Pendosa. Puisinya juga termaktub dalam beberapa antologi, seperti Merantau Malam (Sabana Pustaka, 2016), dan TeraKota (Liliput, 2015).
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Muhammad De Putra
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Media Indonesia" Minggu 27 Agustus 2017