LELAKI itu menampar pipi Malina setelah
memperhatikan benjolan kecil yang
menonjol di leher Malina. Padahal, sebelum-
nya lelaki itu begitu berhasrat pada Malina,
seperti anjing beringas yang mendapatkan jatah
santapannya. Setelah menampar pipi Malina, lelaki itu pergi begitu saja tanpa meninggalkan uang
sepeser pun, bahkan ia masih sempat mengumpat
dan meludahi Malina.
Malina membalas umpatan itu setelah lelaki itu
berjalan cukup jauh untuk mendengar umpatan-
nya, “Lelaki tolol, kalau mau mencari wanita tulen
seharusnya kau tak datang ke tempat ini. Lagi pula
apa matamu jereng, tak bisa melihat jakun menonjol
sebesar ini.”
Malina mengusap pipinya yang masih panas oleh
tamparan lelaki itu. Ia menarik napas dalam-dalam
sambil meresapi nyeri di pipinya. Tiba-tiba Malina
menghitung, sembilan dari sepuluh lelaki yang
membayarnya memang cenderung bersikap
beringas dan kasar, seperti anjing hutan.
Benar-benar anjing hutan. Jenis yang suka
memakan bangkai. Begitulah, Malina mem-
bayangkan dirinya bagai segumpal bangkai
yang tak pernah habis dicabik-cabik.
“Ada tragedi salah paham lagi rupanya,” kata
beberapa teman Malina sambil cekikikan.
Malina tak mau menghiraukan mereka. Sudah
terlampau malam. Malina memilih melangkah
pulang. Dalam hati, Malina tak puas-puas mengumpat lelaki barusan, bagaimana ada lelaki setolol
itu, seharusnya ia tahu makhluk seperti apa yang
mungkin bisa ia temui di tempat seperti ini.
Barangkali ia hanya lelaki naif yang ingin mencoba hal-hal baru.Benar-benar payah.
Rasa nyeri di pipi Malina membuatnya memikirkan sesuatu
yang telah jauh. Sesuatu
di masa lampau yang
membawanya ke dunia
sialan ini.
Malina cukup
menyesalkan
dirinya yang
tiba-tiba men-
jadi gila setiap kali
melihat lelaki tampan
melintas di hadapannya. Seperti ada seekor
ular yang tiba-tiba mendesis di
balik celananya. Seolah-olah dirinya menjadi
seseorang yang bukan dirinya. Atau malah, seseorang
yang bukan dirinya menjelma menjadi dirinya.
Malina sadar betul, bahwa ia terlahir dengan
nama Malin—dan bukan Malina, ia memiliki buah
zakar dan memiliki jakun, lengannya pun berurat
dan dadanya membidang—bukan membukit.
Namun yang tak bisa Malina pahami adalah setelah
ia remaja, mengapa tiba-tiba suaranya menciut dan
sengau serupa bunyian perawan, gerakkan tangan-
nya pun sangat gemulai layaknya peragawati. Dan
itu semua tidak dibuat-buat. Alami dan muncul
begitu saja. Seolah ada kekuatan tak kasat mata
yang menggerakkannya. Sesuatu yang bukan dari
diri Malina.
Mungkin itu bermula ketika Malina masih kecil,
ketika namanya masih Malin. Ia ingat betul, hampir
semua kawan lelakinya tak mau bermain dengan-
nya, karena ia tak pernah bisa menerbangkan
layang-layang dengan benar, ia juga tidak mahir
membidik kelereng seperti anak-anak lelaki lainnya.
Ia malah lebih nyaman bermain dengan perempuan,
bermain bola bekel, pasar-pasaran, atau rumah-
rumahan. Menurutnya, anak perempuan memang
jauh lebih bisa menghargainya ketimbang anak
laki-laki—yang begitu kasar dan suka memanggilnya
Malin si bencong. Hati Malina sakit sekali, meski apa
yang diolok-olokkan temannya itu benar adanya.
Dalam perjalanan menuju rumah kontrakannya,
Malina tak henti-henti melamunkan
masa lalunya yang hampir
basi itu.
Malina membuka
pintu rumah
kontrakannya dengan hati-hati, supaya tidak
berderit. Ia tak ingin kedatangannya membangunkan Apip—bocah yang ia temukan lima tahun silam
di dekat jembatan tempat ia menunggu pelanggan.
Malina sangat menyayangi bocah itu. Kehadirannya
bagai lentera bagi kehidupan malina yang melulu
suram. Malina menghela napas lega melihat Apip
masih tertidur pulas di ranjangnya. Malina ingin
mendekatinya dan mencium keningnya, tapi urung,
ia tak ingin membangunkan bocah itu.
Malina kembali ke ruang depan, ia mengempaskan punggungnya ke sofa setelah meneguk air
dari teko plastik di atas meja. Ia melepaskan
sepatu hak tingginya, ia meringis, mengeluhkan
kakinya yang lecet gara-gara sepatu kekecilan
itu. Ia juga mulai melepaskan wig-nya, ia mencium wig itu sekilas, baunya seperti bulu ayam
yang habis disembelih dan diguyur air panas.
Malina heran, padahal sebelum berangkat ia
sudah menyemprot wig itu dengan hairspray.
Malina mengurai rambut tipisnya yang dijepit
sebelum kembali mengempaskan tubuhnya ke
sofa, matanya menerawang langit-langit dengan
penerangan yang redup.
Seumur-umur Malina tak ingat pernah mencintai
perempuan, mencintai dalam artian hubungan
asmara dan hasrat-hasrat yang liar. Tak sedikit
pun ada celah dalam dirinya untuk menampung
perasaan pada makhluk bernama perempuan. Malah
Malina pernah jatuh cinta
pada beberapa le-
laki, namun
begitulah, cintanya selalu—
dan akan selalu—bertepuk sebelah tangan. Cintanya
pada makhluk berjakun hanya sebuah cerita sedih
yang bertumpuk-tumpuk dan membusuk di dada-
nya, hanya di dadanya. Karena, bagaimana pun
Malina adalah makhluk berjakun yang sama. Lelaki
normal tentu akan jijik menyentuhnya.
Namun di antara beberapa lelaki yang pernah
ia cintai, ada seorang lelaki yang sampai detik ini
masih ia kenang—sebenarnya masih ia cintai, bah-
kan lelaki itu masih kerap datang ke dalam mimpi
Malina. Barangkali, ia cinta terakhir Malina. Lelaki
itu adalah Langit, namanya memang Langit.
Mungkin salah satu hal yang membuat Malina tak
bisa melupakan lelaki itu adalah karena namanya
Langit. Jadi, setiap kali Malina menengadahkan
wajah tanpa sengaja ke langit, yang muncul per-
tama kali dalam benaknya adalah lelaki itu. Lelaki yang begitu teduh air wajahnya, begitu lembut
perangainya, dan begitu halus tutur katanya.
Dulu, Malina kerap memandangi Langit, ketika ia
tertidur di sebelahnya. Bahkan Malina hampir tak
bisa menahan diri untuk tidak menciumnya. Dulu,
lelaki itu sering mendekap Malina dan memberi
pengertian ini-itu, ketika Malina tengah bersedih
atau terpuruk. Langit memang lelaki yang baik. Ia
sahabat yang baik.
Malina tak bisa berkutik dari rasa sakit, karena
sekali lagi ia telah berbuat salah: mencintai lelaki
normal. Malina sudah sadar sejak pertama bahwa
Langit masih sangat waras untuk tidak mencintai
makhluk berjakun. Apa pun yang dilakukan Langit
padanya, semata adalah kepedulian dalam batas
pertemanan. Tak lebih. Tak mungkin lebih.
Maka, Malina sudah bisa menebak, bahwa pada
akhirnya, hatinya harus hancur. Begitulah, Langit
pun menikah dengan seorang gadis yang di-
cintainya. Malina datang dengan senyum ke
pernikahan itu, meski hatinya sudah tak
berbentuk. Semenjak Langit menikah—
bahkan sekarang sudah punya dua
anak, Malina tak pernah lagi men-
ghubunginya. Malina sudah terlan-
jur terjun ke dunia lain. Ia tak ingin
Langit tahu, apalagi terlibat di
dalamnya.
Ketika Malina tengah larut
meraba-raba seperti apa wajah
Langit sekarang, tiba-tiba Apip
sudah berada di hadapannya.
Malina hampir saja menjerit
karena kaget.
“Kenapa kau bangun,
Nak? Apa kedatangan ibu
membangunkanmu?”
Suara Malina sengau dan
lelah. Ia meraih bocah itu ke
pangkuannya.
Bocah itu mendongak ke wa-
jah Malina, “Apa aku boleh melihat leher Ibu?” tanyanya dengan
suara serak dan mengantuk.
Malina merasa aneh dengan pertanyaan itu, ia jadi ingat, sebelum ia be-
rangkat petang tadi, bocah itu
sempat menanyakan
hal yang sama. Dan
karena terburu-
buru, Malina tak
menghiraukannya.
Kini Malina yang jadi bertanya-tanya, apakah hal itu teramat
penting baginya, sehingga ia terbangun malam-
malam hanya untuk menanyakan itu.
“Memangnya kenapa dengan leher Ibu?” balas
Malina ragu-ragu.
“Temen-temanku bilang kalau Ibu laki-laki, dan
kata mereka, laki-laki tak boleh dipanggil Ibu,”
Malina terhenyak, tapi ia berusaha menguasai
dirinya.
“Lalu kau bilang apa pada mereka?”
“Aku bilang mereka bohong. Tapi, kata mereka,
kalau aku tidak percaya, aku disuruh melihat ke
leher Ibu, kalau di leher Ibu ada benjolan berarti
laki-laki, tapi kalau tidak ada berarti Ibu perempuan
dan boleh kupanggil ibu.”
Malina terdiam.
“Apa aku boleh melihat leher Ibu?”
Malina sedikit menunduk. Ia berterima kasih
pada cahaya lampu yang redup.
“Ibu, apa aku boleh melihat leher Ibu?” Bocah itu
bertanya lagi.
Malina tidak menjawab. Saat itu, satu-satunya hal
yang ingin ia lakukan adalah mengambil pisau dan
mencongkel benjolan itu dari lehernya. ❑
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Mashdar Zainal
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Lampung Post" edisi Sabtu, 21 April 2018
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Lampung Post" edisi Sabtu, 21 April 2018
Post a Comment