AKU membayangkan, dia pun pasti pernah
jadi laba-laba kecil yang besarnya cuma
seujung kuku. Itu ketika dia baru menetas dari salah satu telur-telur lembut berwarna
putih yang ditinggalkan induknya di sela lipatan
daun, berlindungkan selaput tipis namun kuat
yang terbuat dari benang laba-laba.
Setelah dia menetas dari telur itu, dengan tubuh kecilnya dia merangkak malu-malu keluar
dari selaput pelindung itu. Itulah kali pertama
dia menghirup udara bebas.
Sebagai laba-laba bayi, saat itu warnanya
masih putih pucat dan proporsi tubuhnya lebih
lebar kepala dan badan daripada kaki-kakinya.
Tentunya saat itu dia tak sendiri. Puluhan anak
laba-laba terlahir bersamaan, setidaknya hampir
bersamaan.
Lalu mereka keluar satu per satu, berpencar, memulai hidup dengan garis nasibnya masing-masing sesuai dengan yang
dititahkan Tuhan untuk mereka, tanpa tertukar.
Begitu pun dia.
Lalu, sang laba-laba itu—yang saat itu masih
mungil—dengan kemampuan ajaibnya
mulai merajut sarangnya yang pertama.
Barangkali, mangsa pertamanya hanyalah
seekor kutu yang kebetulan bernasib sial, yang
dihinggapkan angin ke salah satu helai benang
rajutannya. Atau mungkin justru dia menangkapnya dengan melompat lalu mengikat mangsanya
dengan benang, seperti yang dilakukan Spiderman ketika menangkap perampok.
Mungkin, mangsa pertamanya itu hanya
sebesar ujung jarum sehingga dia yang rapuh
masih mampu menyergapnya. Atau bahkan
lebih kecil dari itu. Atau, mungkin juga
sebenarnya sedikit lebih besar. Entahlah!
Pada akhirnya, betapa pun aku sungguh ingin
merasa paling tahu tentang masa lalunya, harus
kuakui sebetulnya aku tak tahu apa-apa.
Tak tahu juga aku berapa bulan—atau bahkan
tahun—yang dia butuhkan untuk tumbuh sedikit
demi sedikit, dan seberapa banyak kesabaran
yang sudah dia tebarkan hingga mampu mem-
besarkan diri jadi seukuran itu. Ah, bukannya
dia laba-laba raksasa seperti yang ada di film-
film Amerika itu—judulnya Eight Legged
Freaks kurasa. Bukan! Toh, yang seperti itu
hanya ada di dalam khayalan bule-bule saja.
Sang laba-laba yang sedang kuceritakan ini,
lebar rentangan kedelapan kakinya paling-paling
hanya sebesar jengkal tangan anak SD—sekitar
lima belas sentian, lah. Tapi, asal tahu saja!
Sepenemuanku, bayi laba-laba sejenis yang baru
keluar dari telurnya paling-paling hanya seukur-
an dua atau tiga milimeter—sudah kukatakan
tadi laba-laba yang sedang kuceritakan ini pernah
badannya hanya sebesar ujung kuku saja.
Di tambah lagi, begitu laba-laba itu lahir, mereka sudah tidak dalam lindungan mamanya ka-
rena telur-telur laba-laba itu hanya disembunyikan di balik lipatan daun, bukan dierami seperti
telur ayam. Lalu begitu menetas, bayi-bayi laba-laba akan bertahan hidup, membesar, atau mati,
adalah atas usaha mereka sendiri.
Itulah mengapa tadi aku katakan entah
seberapa banyak kesabaran yang dia tebarkan
hingga bisa tumbuh sebesar itu. Mungkin, sekali
waktu dia harus berpuasa juga karena seharian
tidak dapat mangsa—dan tidak akan ada mama
yang menyuapkan makanan ke mulutnya kalau
dia sedang seperti itu. Tapi, ada kalanya pula,
kurasa, dia berpesta setelah menangkap buruan
yang lebih dari cukup untuk menjadi nutrisi
hariannya—kalau tidak seperti itu bagaimana
dia bisa bertumbuh besar?
Sering kulihat laba-laba itu merajut ulang
sarangnya—entah berapa ratus kali dia lakukan itu seumur hidupnya. Bukannya dia ingin
membuat sarangnya lebih besar, atau lebih
megah, atau lebih indah sehingga dia lagi, lagi,
dan lagi merajut sarang.
Jangan samakan laba-laba dengan manusia yang senang merenovasi ulang rumah,
memperluas, mempercantik, atau sekadar
memperbarui cat dinding. Seringnya dia membangun ulang sarang karena rusak, benang-
nya putus, entah karena
angin, kejatuhan biji atau
ranting, atau bisa
pula karena perkelahian yang
s e n g i t d e n g a n
calon mangsa. Meskipun, pada beberapa
kesempatan di masa lalu pasti ada pula ke-
jadian ketika dia memang terpaksa merajut
sarangnya lebih besar karena ukuran badan-
nya yang sudah membesar.
Awalnya, sang laba-laba besar itu—sekali lagi
aku katakan dia kusebut besar karena memang
lebih daripada laba-laba lain, bukan berarti dia
lebih besar dari manusia—dia membuat sarangnya di atas pohon besar buah mangga yang lebat
daunnya. Pasti itu alasannya mengapa dia bisa
tumbuh hingga sebesar itu.
Ada banyak ngengat, kupu-kupu, kumbang,
atau belalang yang berseliweran di sekitar
pohon itu. Lalu, beberapa di antaranya secara
tidak beruntung salah membelokkan sayap
hingga tersangkut di sarangnya. Kalau sudah
begitu, dia akan menjadi mangsa sang laba-laba, menjadi nutrisi bagi pertumbuhannya
sekaligus sumber energi untuk menangkap
mangsa selanjutnya.
Selain dapat mangsa banyak, di bawah
naungan pohon mangga yang lebat daunnya
itu dia mendapat perlindungan dari angin
dan hujan. Tidak perlu sering-sering merajut
ulang sarangnya, yang itu pasti membutuh-
kan banyak energi pula.
Tapi setelah bapakku memutuskan pohon mang-
ga itu harus ditebang—dan kemudian benar-benar
ditebang—laba-laba itu terpaksa pindah. Sarangnya yang baru
berada
di antara
pohon belimbing dan atap
rumahku, melayang di
tengah-tengahnya. Bukan ber-
naung di bawah pohon seperti semula, karena
pohon belimbing ini masih kecil sehingga ketiak
rantingnya tak akan cukup untuk laba-laba itu
membuat sarangnya yang besar dan gagah.
Sejak saat itu kulihat dia jadi lebih sering
merajut ulang sarangnya. Bahkan sehari-hari
kutengok kerjaannya hanyalah merajut sarang.
Yang rusak, lalu diperbaiki, lalu rusak lagi, dan
diperbaiki lagi, namun masih tetap rusak lagi
sehingga harus diperbaiki lagi.
Memang sarangnya kini mengambang di
tempat terbuka. Di atasnya hanya ada hamparan
langit sebagai payung. Ketika hujan—apalagi
saat ini sedang musimnya hujan lebat disertai
angin besar—tak ada yang melindungi sarang
rapuhnya dari serbuan air jatuh.
Di tempat yang baru itu, mangsa untuknya pun
tak banyak. Seandainya dia membuat sarang di
bawah daun-daun pohon belimbing kecil itu, ada
sedikit lebih banyak serangga yang sering ber-
seliweran di sana, terutama ngengat-ngengat putih
kecil yang sedang kawin atau bertelur di daun-daun
belimbing. Tapi, sudah kukatakan dia tak mungkin
membikin sarang di sana. Belum lagi, jika dia
membuat sarang yang terlalu dekat dengan tanah,
orang yang lewat akan dengan mudah merusak
sarangnya, atau bahkan membunuhnya.
Di tempat yang baru itu, jarang kulihat dia
bisa menangkap buruan.
Tapi akhirnya suatu pagi aku mendapati
ada sisa sayap tawon yang menempel di
sarangnya. Syukurlah, pikirku. Ternyata
dia masih bisa mendapat mangsa juga,
meski kutahu itu mangsa pertamanya
setelah berhari-hari semenjak dia pin-
dah sarang ke tempat baru.
Namun, di pagi yang sama itu aku juga
menemukan kakinya tinggal enam. Dua
telah tanggal dan entah jatuh ke mana,
dua-duanya yang sebelah kiri. Sehingga
kini kakinya ada empat di sebelah kanan
dan dua saja yang sebelah kiri. Tak simetris.
Aku jadi berpikir, apakah itu adalah
harga mahal dari usahanya memangsa
tawon? Sebab tawon yang dia tang-
kap itu bukan tawon biasa,
melainkan tawon endhas
yang berukuran besar dan terkenal
punya sengatan
l u a r b i a s a
menyakitkan.
Tapi, sekali
lagi aku harus
mengakui bah-
wa aku tidak
tahu. Seingatku tadi malam
ada hujan deras
disertai angin.
Bisa juga dua
kaki itu putus
ketika dia berjuang melawan
hantaman badai
semalam.
S e m p a t
kupikir dia
akan kesulitan
merajut sarang
dari benang-
benangnya bila
kakinya tinggal enam. Ternyata tidak juga.
Esoknya, juga esoknya lagi, dan
lagi, tiap hari dia tetap bisa merajut ulang
sarangnya, yang lagi, lagi, dan lagi rusak tiap
hari sehingga harus dirajut kembali.
Tidak kulihat dia kesulitan melakukan itu
meski kini kakinya hilang dua. Sarang barunya
pun tetap indah dan gagah, tidak miring bentuk-
nya ataupun kendor ikatannya hanya karena dia
kehilangan dua kakinya.
Dia bertahan beberapa lamanya dengan kepapaannya yang demikian. Sampai akhirnya,
kutemukan dia menyerah juga.
Mula-mula pagi itu kulihat dia diam mematung
dengan tetap bertengger di tengah sarangnya, na-
mun dengan keenam kaki yang tidak merentang
selebar biasanya. Seperti kembang yang baru
setengah mekar. Sang laba-laba berdiri tidak
segagah biasanya.
Dan benar saja. ketika agak siangan dan angin
berhembus kencang, dia terhempas dari sarang-
nya. Dan dia tetap hanya diam, ketika badannya
menggantung-gantung karena ujung pantat yang
masih terikat pada benang. Sampai kemudian
terpaan angin yang lebih kencang membuatnya
jatuh ke tanah. Tubuhnya sudah kaku ketika itu.
Kering. Laba-laba itu sudah mati. ❑
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Hasan Id
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Lampung Post" edisi Minggu, 29 April 2018
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Lampung Post" edisi Minggu, 29 April 2018