Tersebab Puisi
Tersebab puisiaku bisa mengembara
berlayar bersama perahu-perahu di kejauhan
menjumpai rumah-rumah tua dan bermacam epitaf
di negeri seberang
Dan di malam hari, aku jadi sangsai
segalanya kembali dan meruang dalam diri
menikam sunyi dari balik pintu
tak ada siapa-siapa, tak ada yang bicara
hanya angin yang menggetirkan cuaca
Tersebab puisi
aku bisa menyaksikan kembali
geliat bayang-bayang di ujung jalan
seperti sebuah lagu dari masa lalu
mencekam, mengiris bulan di atas perahu
sepanjang pantai dan ombak yang berderai.
Sumenep, 2015
Suatu Sore, pada Sebuah Taman
Dari balik senjaaku mencium harum bunga-bunga
yang gugur ke matamu
menyemerbak ke dalam puisi
Pada lampu taman yang mulai menyala
aku mengintip bayangmu
berpendar sampai ke langit
yang menyisakan warna hujan
Dari balik senja
aku masih mengenali suaramu
seperti kicau burung merpati
melarung sukmaku
kemudian menukik
di antara dahan dan reranting pohon kenanga
Pada bangku taman yang mulai ditinggalkan
aku menyebutmu sebagai kepergian
tak lebih seperti surup senja
melenyapkan bayangan di balik sebuah nama.
Sumenep, 2014-2015
Sebuah Tanda
Aku memanggilmu dari jauhatas nama malam yang panjang
mengulurkan seratus ribu jarak
ke mata bulan berwarna perak
Pada jendela kamar
ada bahasa yang samar-samar
mengungkapkan satu isyarat
tentang kematian yang tersirat
Sepanjang rindu-rindu yang tergelar
masih tak kutemu pintu keluar
menuju dirimu
Maka, datanglah
meski sekedar bayang
agar hujan di kamarku
menemukan muara rindu ke tubuhmu.
Sumenep, 2015
Di Tepi Laut
Di tepi lautaku bermula
memecahkan tangis pertama
Melebur bersama ombak yang bersajak
Di tepi laut
aku membaringkan badan
mengasah usia
kemudian, ibu membangunkanku
menuntunku berjalan di tepian sungai yang berpasir
Sedangkan ombak yang gemuruh itu
adalah darahku
tumpah ruah sepanjang waktu
dan kelak akan hanyut sampai ke muara
tenggelam bersama senja.
Sumenep, 07 Januari 2015
Rimba Kata
Aku tersesat, jauh dari rumahterkurung di lembah kata
ada sekawanan burung-burung
mengirim bermacam suara yang memabukkan
Dimana letak jalan menuju puisi?
sebaris sepi yang kumainkan di malam hari
hanya mengungkapkan kengerian belaka
bergetar di udara
Aku berjalan jauh, menyusuri semak dan belukar
mencari jalan pulang
sebagai pengembara yang terlempar
ke kedalaman rimba kata
Siapa yang bersembunyi di balik puisi
aku atau hanya sebatas bayangan?
menggeliat seperti helai daun-daun
kemudian, jatuh perlahan
sampai kepada sebuah ketiadaan.
Sumenep, 19 Agustus 2015
Seperti Namamu
Seperti namamu, kekasihsuara angin yang berkesiur
melindap ke tengah malam
memecah mimpiku di atas ranjang
Aku terjaga
tersekat di antara waktu yang remang:
jam dua belas tiga puluh
berdetak mendentangkan namamu
di bawah sayap bulan
Sampai langit mendenyutkan satu puisi
di atas lindap namamu
yakni, sesuatu yang telah biasa
ku sebut dengan rindu.
Sumenep, 2015
Episode Bayangan
Dilarutkannya bayangan ituke dalam segelas minuman
ada dingin yang tak sampai kepada peluk
menggelisahi rindu di sudut ufuk
Ia melemparnya
pada sebuah jendela yang terbuka
ada geriap mata bulan berkelebat
melesap seperti kelelawar
menelusup ke dalam kamar
Kemudian, dibantingnya bayangan itu
ke balik pintu
menutup sunyi
sampai pagi.
Sumenep, 2015
Rifky Raya, yang lahir di Sumenep, Pulau Madura, Jatim, 15 April 1993 ialah mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Aqidah Usymuni (STITA) Tarate Pandian Sumenep. Tulisan-tulisannya dimuat dalam antologi bersama, antara lain, Memo Antiterorisme (Forum Sastra Surakarta, 2016), Terpijak Gelisah (Sigi Media Publisher, 2016), Orasi Pemuda Nusantara (Lovrinz Publishing, 2016), Lubang Kata (2017), dan The First Drop of Rain (2017).
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Rifky Raya
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Media Indonesia" Minggu 29 April 2018